Maka berbahagialah bagi seseorang yang dapat mengisi waktunya dengan
sesuatu yang dapat mendekatkan dirinya dengan Allah, bebahagialah bagi
seseorang yang menyibukkan dirinya dengan ketaatan dan menghindari
maksiat. Berbahagialah bagi seseorang yang meyakini adanya
hikmah-hikmah Allah yang agung dan rahasia-rahasia-Nya (yang Dia
ketahui), dengan melihat kepada silih bergantinya perkara-perkara dan
keadaan-keadaan.
“Artinya : Allah mempergantikan malam dan
siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat pelajaran yang
besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan” [An-Nur : 44]
Wahai
sekalian manusia, sesungguhnya pada hari ini kamu berpisah dengan
tahun yang telah lalu, yang menjadi saksi. Dan kamu akan menyambut
tahun yang akan datang, tahun yang baru, maka apakah yang telah kamu
tinggalkan untuk tahun kemarin ? Dan dengan apa kamu akan menyambut
tahun yang baru ini ?
Maka seseorang yang berakal hendaklah
menginstropeksi dirinya, dan melihat urusannya. Jika sekiranya dia
telah meninggalkan suatu kewajiban, maka segeralah bertaubat dan
segeralah untuk memperbaiki apa yang ditinggalkannya. Dan jika dia
telah mendhalimi dirinya sendiri dengan melakukan
kemaksiatan-kemaksiatan dan hal-hal yang haram segeralah ia
meninggalkannya sebelum datangnya kematian.
Dan jika dia
termasuk orang yang diberi keistiqomahan oleh Allah, maka mintalah
untuk tetap istiqomah sampai akhir hidupnya. [Dari kitab Dhiya’ul Lami
Minal Khutabil Jawami’ I/313-314 secara bebas, karya Syaikh Utsaimin]
Awal
bulan telah membawa kita ketahun baru Hijriyah, bulan itu ialah bulan
Allah Al-Muharam. Hal ini bukanlah sesuatu yang asing lagi bagimu.
Tetapi ….! Apakah bulan ini memiliki hukum-hukum yang harus diketahui
oleh thalibul ilmi, thalibul haq dan thalibul akhirah (penuntut ilmu,
pencari kebenaran dan orang yang menginginkan akhirat)? Yaa … di bulan
ini ada amalan-amalan yang harus diperhatikan, sebagai upaya untuk
menghidupkan sunnah Rasulullah صلی الله عليه وسلم
dan upaya untuk memperoleh pahala serta kebaikan bagi orang yang
mengajak kepada petunjuk agama.
“Artinya : Siapa yang mengajak
kepada suatu petunjuk maka ia akan memperoleh pahala seperti pahala
orang yang mengikutinya dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari pahala
mereka” [Hadits Riwayat Muslim]
Pemuda sejati, demi Allah
ialah yang memiliki ilmu dan ketaqwaan
Tidaklah dikatakan pemuda
sejati kalau tidak memiliki keduanya.
DIANTARA HUKUM-HUKUM
BULAN MUHARRAM
Pertama : Dilarang Berbuat Dhalim Di Bulan Itu.
Allah
سبحانه و تعالى
berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah
ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan
langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan)
agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri dalam bulan yang
empat itu” [At-Taubah : 36]
Sesungguhnya Allah tidak
menulis di dalam Lauhul Makhfud yaitu pada hari penciptaan langit dan
bumi, bahwa jumlah bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan. Empat
bulan di antaranya ialah haram (mulia) : Tiga beriringan, yaitu
Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram, serta Rajab Mudhar yang ada
antara Jumada dan Sya’ban,
“Allah memiliki hikmah yang
sempurna, yaitu ketika Dia memilih utusan-utusan dari kalangan
malaikat (seperti Jibril untuk menyampaikan wahyu, -red), begitu juga
dari kalangan manusia (yakni para rasul yang diutus Allah,-red). Dan
Allah juga mengutamakan beberapa waktu dibanding dengan waktu yang
lainnya, beberapa tempat dibanding dengan tempat-tempat lainnya. Dan
mengutamakan sebagian bulan dengan sebagian lainnya, sebagian hari
dengan sebagian lainnya” [Dhiya’ul Lami 2/704]
Adapun
tentang larangan berbuat dhalim pada ayat diatas, ulama Salaf berbeda
pendapat. Sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud
kedhaliman adalah peperangan secara mutlak. Sebagian mereka berkata
–dan ini yang lebih rajih- bahwa maksud dari kedhaliman dalam ayat
diatas ialah dilarangnya memulai peperangan. Ada juga ulama yang
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kedhaliman di dalam ayat ialah
berbuat dosa dan kemaksiatan.
Maka –wahai saudara-saudara
seagama Islam-, hendaklah kita berhati-hati dari kedhaliman, baik
mendhalimi diri kita sendiri atau mendhalimi orang lain. Hendaklah
kita mengingat wasiat kekal Rasulullah صلی الله
عليه وسلم dalam
sabdanya.
“Artinya : Tahukah kalian dengan kedhaliman, karena
sesungguhnya kedhaliman itu merupakan kegelapan-kegelapan pada hari
kiamat” [Hadits Riwayat Muslim dan lainnya. Shahih al-Jami no 102]
Dan
hendaklah kita menjaga diri dari do’anya orang-orang yang didhalimi,
walaupun ia kafir atau fajir (jahat), karena sesungguhnya do’anya
dikabulkan oleh Allah (karena tidak ada penghalang antara dia dengan
Allah).
Ingatlah kita kepada sabda Rasulullah صلی
الله عليه وسلم
“Artinya
: Tidak ada dari satu dosapun yang lebih pantas untuk dicepatkan
siksanya bagi pelaku dosa itu baik di dunia maupun di akhirat daripada
melewati batas (kedhaliman) dan memutus silaturahim” [Ash-Shahihah no
915]
Di dalam syair dikatakan.
Apakah orang yang sangat
dhalim itu akan selamat.
Padahal di belakangnya terdapat panah do’a
yang siap menancap dari orang negeri Qas yang sedang ruku.
Maka
hendaklah orang-orang yang terdhalimi bergembira dengan diijabahi do’a
mereka oleh Allah yang Maha Mendengar dan Mengetahui, walaupun selang
beberapa waktu.
Hendaklah mereka senang dan tenang, yaitu
bahwa orang-orang yang dhalim itu akan celaka di dunia dan akhirat.
Dan bahwasanya Allah tidaklah menyelisihi janjiNya, “akan tetapi
kalian itu kaum yang tergesa-gesa”.
Adapun orang yang
membantu orang-orang yang dhalim di dalam kedhaliman dan kesesatan
mereka, apapun kedudukan orang-orang yang dhalim itu, baik penguasa
ataupun rakyat, maka ingatlah bahwa adzab yang pediah pasti akan
menunggu mereka. Rasulullah صلی الله عليه وسلم
bersabda.
“Artinya : Siapa membantu orang yang dhalim, untuk
menolak kebenaran dengan kebhatilannya, maka sesungguhnya jaminan
Allah dan RasulNya telah terlepas darinya” [Hadits Riwayat Hakim.
Shahihul Jami’ no 6048]
Hadits yang mulia diatas cukuplah
menjadi peringatan dari kedhaliman, baik kecil maupun besar, bagi
orang yang berakal, atau orang yang mau mendengarkan, sedangkan dia
menyaksikan.
Kedua : Disunahkan Puasa Secara Mutlak Khususnya
9 dan 10 Muharram
Rasulullah صلی الله
عليه وسلم
bersabda.
“Artinya : Puasa yang paling utama setelah puasa
Ramadhan adalah puasa pada bulan Muharram” [Hadits Riwayat Muslim dari
Abu Hurairah]
Adapun puasa 9 Muharram, maka itu disunnahkan.
Ibnu Abbas رضي الله عنه
meriwayatkan.
“Artinya : Ketika Rasulullah صلی
الله عليه وسلم
berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan (para sahabat) supaya
berpuasa. Para sahabat berkata : “Wahai Rasulullah صلی
الله عليه وسلم,
sesungguhnya hari itu adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan
Nasrani”, Maka Rasulullah صلی الله عليه
وسلم bersabda : “Pada tahun depan insya
Allah kita puasa tanggal 9”. Tetapi beliau wafat sebelum datangnya
tahun berikutnya” [Hadits Riwayat Muslim]
Di dalam hadits
lain.
“Artinya : Seandainya aku mendapati tahun depan, maka aku
akan puasa tanggal 9. Tetapi beliau meninggal sebelum itu” [Hadits
Riwayat Muslim]
Rasulullah صلی الله عليه
وسلم telah menganjurkan kepada umatnya
supaya berpuasa Asyura (tanggal 10 Muharram), ketika ditanya tentang
puasa Asyura, dengan sabdanya ;
“Artinya : Puasa Asyura
menghapus kesalahan setahun yang telah lalu” [Hadits Riwayat Muslim]
Beliau
juga senantiasa melakukan puasa Asyura berdasarkan hadits Ibnu Abbas رضي
الله عنه, beliau
berkata.
“Artinya : Tidaklah aku melihat Rasulullah lebih
menjaga puasa pada hari yang diutamakannya dari hari lain kecuali hari
ini, yaitu Asyura” [Shahih At-Targhib wa Tarhib]
Rasulullah
صلی الله عليه وسلم
bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya Asyura merupakan hari
diantara hari-hari Allah” [Hadits Riwayat Muslim]
Benarlah
bahwa Asyura merupakan hari-hari Allah, yang pada hari itu al-haq
mendapatkan kemenangan atas kebatilan. Orang-orang mukmin yang sedikit
mendapatkan kemenangan atas orang-orang kafir yang banyak. Pada hari
itu pula Allah menyelamatkan Nabi Musa ‘عليه
السلام dan kaumnya dari
kejaran Fair’aun. Maka berpuasalah Nabi Musa ‘عليه
السلام sebagai wujud syukur
kepada Allah. Tatkala Rasulullah datang di Madinah dan mengetahui
bahwa orang Yahudi puasa pada hari itu, beliau صلی
الله عليه وسلم
bertanya tentang sebabnya. Maka orang-orang Yahudi menjawab bahwa
mereka mengagungkan hari itu, karena pada hari itu Nabi Musa ‘عليه
السلام dan kaumnya
diselamatkan oleh Allah dari kejaran Fir’aun. Maka Rasulullah صلی
الله عليه وسلم
bersabda.
“Artinya : Maka aku lebih berhak terhadap Musa
daripada kamu. Maka beliaupun berpuasa dan memerintahkan umatnya
supaya berpuasa pada hari itu” [Hadits Riwayat Bukhari]
Pada
mulanya puasa Asyura diwajibkan, tetapi setelah Allah mewajibkan puasa
pada bulan Ramadhan, Rasulullah صلی الله عليه
وسلم bersabda.
“Artinya :
Barangsiapa berkehendak, silahkan berpuasa, dan barangsiapa
berkehendak, silahkan meninggalkan (tidak berpuasa)”.
Mungkin
ada orang yang berkata : “Bagaimana Rasulullah صلی
الله عليه وسلم
berpuasa pada hari Asyura, mengikuti orang-orang Yahudi, padahal kita
diperintahkan untuk menyelisihi mereka, yaitu orang-orang yang di
murkai oleh Allah”.
Jawabannya adalah : Bahwa Rasulullah صلی
الله عليه وسلم
telah berpuasa Asyura pada zaman jahiliyah, bahkan orang Quraisy pun
berpuasa pada hari itu. Jadi Rasulullah صلی الله
عليه وسلم
berpuasa Asyura itu sebelum beliau datang ke Madinah (yang disana
bertemu dengan orang-orang Yahudi,-red). Kemudian Rasulullah صلی
الله عليه وسلم
membenarkan khabar orang-orang Yahudi, bahwa nabi Musa ‘عليه
السلام berpuasa pada hari
itu sebagai wujud syukur, karena Allah telah menyelamatkan dari
Fir’aun. Maka orang-orang Yahudi pun mengagungkan hari itu. Al-Mazari
berpendapat bahwa pembenaran Nabi kepada Yahudi mungkin setelah Nabi
diberi wahyu tentang kebenaran mereka, dan kabar itu telah sangat
masyhur pada beliau. Atau mungkin orang Yahudi yang telah masuk Islam,
seperti Ibnu Salam, telah mengabarkan kepada Nabi tentang kebenaran
kabar tersebut, Kesimpulannya, bahwa Nabi melakukan puasa Asyura
bukanlah karena mengikuti orang Yahudi, karena Rasulullah صلی
الله عليه وسلم
telah berpuasa sebelum Rasulullah pergi ke Madinah. Dan waktu itu
menyamai Ahli Kitab dalam perkara yang tidak dilarang secara syar’i.
KAIDAH
MUWAFAQAH (MENYAAMAI) MEWUJUDKAN ADANYA TASYABUH (MENYERUPAI).
Rasulullah
صلی الله عليه وسلم
tidaklah menyamai Yahudi dalam mengagungkan hari Asyura dengan cara
mereka. Bahkan Rasulullah صلی الله عليه وسلم
menyelisihi mereka, yaitu dengan (niat) melakukan puasa satu hari
sebelum Asyura yaitu tanggal 9 Muharram
Adapun puasa setelahnya
yaitu 11 Muharram , ini berdasarkan hadits Rasulullah صلی
الله عليه وسلم.
“Artinya
: Berpuasalah pada hari Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah
sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”
Hadits ini
disebutkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam ta’liq (komentar) nya
terhadap Shahih Ibnu Khuzaimah juz 3 no. 290, bahwa sanadnya dha’if,
karena kejelakan hafalan Abu Laila, dan Atha’ serta yang lain
menyelisihinya juga. Bahkan Ath-Thahawi dan Baihaqi meriwayatkan dari
Ibnu Abbas secara mauquf (dari perkataan Ibnu Abbas) dan sanadnya
shahih.
Sekarang jelaslah tentang kelemahan orang yang
menyatakan bahwa puasa Asyura itu bertingkat-tingkat. Yang paling
tinggi tingkatannya adalah puasa sebelum ataupun sesudahnya. Dalam
hal ini perkataan Ibnu Abbas menjadi penguat puasa pada tanggal 9
Muharram dan 10 Muharram dalam rangka untuk menyelisihi orang Yahudi.
Inilah pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di dalam
Fatawa juz 25 hal. 313. Wallahu a’lam
PERINGATAN TENTANG
HADITS DHAIF YANG BERKAITAN DENGAN KEUTAMAAN ASYURA
“Artinya :
Siapa yang memberikan kelonggaran (nafkah) kepada orang yang menjadi
tanggungannya pada hari Asyura, maka Allah akan memberikan kelonggaran
kepadanya selama setahun penuh”.
Hadits dhaif sebagaimana
disebutkan di dalam Kitab Tamamul Minnah oleh Syaikh Al-Albani hal. 412
“Artinya
: Siapa yang bercelak dengan itsmid pada hari Asyura, dia tidak akan
terkena penyakit mata selamanya”
Hadits maudhu (palsu)
sebagaimana di dalam kiat Adh-Dhaifah no. 224
Maka sikap Ahlu
Sunnah wal Jama’ah di dalam menghadapi hari Asyura adalah bahwa Asyura
bukanlah hari untuk senda gurau ataupun untuk mencela. Akan tetapi
yang sunnah ialah melakukan puasa, sebagaimana Rasulullah صلی
الله عليه وسلم
berpuasa pada hari itu, bahkan menganjurkannya. Dan terkutulah ahli
bid’ah (yang membikin berbagai bid’ah pada hari yang mulia ini)
“Artinya
: Rasulullah صلی الله عليه وسلم
biasa mengagungkan hari itu dan memanggil bayi-bayi yan menyusui milik
beliau dan Fathimah, kemudian beliau meludah di mulut mereka dan
memerintahkan ibu mereka agar tidak menyusuinya sampai malam”
Hadits
dhaif, sebagaimana disebutkan di dalam kitab Shahih Ibnu Khuzaimah no.
2089
Akhirnya, inilah yang bisa kami ketengahkan tentang
pembahasan penting yang berhubungan dengan bulan Muharram. Jika
pembaca menginginkan pembasahan yang lebih luas bisa melihat
kitab-kitab fikih induk dan kitab-kitab aqidah yang membantah ahli
bid’ah dan kitab-kitab lain yang membahas masalah ini. Dan juga
hendaknya melihat kitab Ra’sul Husain karya Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, kitab Istisyhadul Husain karya Ibnu Katsir, dan kitab
Al-Awashim Minal Qawashim karya Ibnul Arabi Al-Maliki. Sehingga bisa
mengetahui hakikat peristiwa musibah Husain bin Ali menurut pandangan
Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Dan juga mengetahui seberapa besar
bid’ah-bid’ah dan kemungkaran-kemungkaran yang dilakukan oleh
orang-orang Syi’ah Rafidhah, yang mengatas namakan kecintaan kepada
Ahlul Bait dan pembelaan kepada mereka dengan merusak sejarah Islam.
Dan agar mengetahui berdasarkan ilmu, tentang sejarah Husain رضي
الله عنه dan
riwayat-riwayat yang menceritakan tentang musibah yang besar itu. Yang
hingga kini terus menerus umat harus membayar harga musibah tersebut.
Semua itu mereka lakukan dengan mengatas namakan Ahlul Bait dan
penghapusan dosa terbunuhnya Husain dengan cara membunuh Ahlu Sunnah
wal Jama’ah, mengadakan propaganda-propaganda untuk melawan Ahlus
Sunnah, dan menanamkan rasa takut di hati mereka. Maka semoga Allah
membinasakan ahli bid’ah dan ahli ahwa, yang mereka itu membunuhi umat
Islam tetapi membiarkan para penyembah berhala.
Kita memohon
kepada Allah semoga Dia menyelamatkan kita dari bid’ah-bid’ah dan dari
perkara-perkara yang diadakan di dalam agama.
[Diterjemahkan
oleh Abu Aminah Ady Abdul Jabbar dari majalah Al-Ashalah, hal.67-73,
No. 11, 15 Dzulhijjah 1414h]
[Disalin dari majalah As-Sunnah
Edisi 03/Tahun V/1421H-2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]